ACEH JAYA – Tokoh pemuda asal Aceh Jaya Nasri Saputra menilai kebijakan terbaru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI terkait pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) di Aceh sebagai langkah mundur yang tidak hanya melemahkan posisi Aceh akan tetapi juga memperkecil nilai tawar serta mengunci Aceh dengan peran minimalis (terbatas) dalam hal pengelolaan hasil sumber daya alamnya.
Menurut Poen Check sapaan Nasri Saputra_red sebagaimana dalam keterangannya yang diterima Habakini.com pada Jumat (31/10/2025) tindakan itu tidak ada yang istimewa dan spesifik dari surat Menteri ESDM RI, Bahlil Lahadalia, nomor T-465/MG.04/MEM.M/2025 tertanggal 23 Oktober 2025, yang ditujukan kepada Gubernur Aceh, hanya saja pemerintah Aceh terlalu membesar – besarkan seakan – akan ketiban rezeki nomplok.
Padahal kata Poen Check, BPMA hanya dijadikan pembantu rumah tangga SKK Migas dengan diberikan tugas tambahan bukan kewenangan penuh.
Hal ini membuktikan Pemerintah Aceh abai dan belum mampu merealisasikan, serta mengimplementasikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018. PP tersebut mewajibkan seluruh perusahaan migas di Aceh untuk berkontrak dengan BPMA. Faktanya, Pertamina masih berkontrak dengan SKK Migas di Blok Migas Rantau Perlak dan Kuala Simpang.
”Hanya dibesar – besarkan saja, padahal hanya dijadikan pembantu rumah tangga mereka aja, dalam hal eksplorasi sumber daya alam, gas dan minyak Aceh harus fokus dan memper tegaskan amanat MoU Helsinki dan UUPA, dimana pembagian hasil Aceh berhak memperoleh 70 % dan ini mutlak dan tidak boleh diganggu gugat, selama ini pembagian hasil 70 % untuk Aceh hanya sekedar angka saja”, cetusPoen Check
Seharusnya Aceh sebagai daerah istimewa dan khusus berdasarkan MoU Helsinki dan UUPA, mendapatkan kewenangan penuh. Surat Bahlil yang digambar gemborkan memberi lampu hijau bagi Aceh untuk terlibat dalam pengelolaan migas di wilayah laut 12 mil hingga 200 mil dari garis pantai justru menggerus makna “Pengelolaan Bersama” dan Aceh akan terjebak dengan jebakan implementasi yang minimalis.
Lanjut Poen Check, Pemerintah Aceh dan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) harus bertanggungjawab penuh baik secara moral maupun secara moril, serta memastikan pengelolaan migas Aceh sesuai amanat UUPA.
”Pasal 160 ayat 1 UUPA, menyebutkan Pemerintah Aceh memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan sumber daya migas bersama dengan Pemerintah Pusat, bukan sekedar dilibatkan, dalam ayat 2 dalam pasal yang sama, bahwa untuk melakukan pengelolaan migas tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama dan ini sudah terbentuk yakni BPMA.
Yang perlu dipahami bersama juga, dalam konteks pengelolaan migas nasional, khususnya menyangkut kewenangan dan keterlibatan daerah, ketentuan dalam UUPA sejatinya wajib berlaku dan menjadi rujukan, karena UUPA lahir dari perjuangan Rakyat Aceh yang telah memakan waktu puluhan tahun dan merenggut ribuan korban jiwa, harta dan benda. UPPA bukan seperti jamur yang tumbuh dimusim hujan tapi dilahirkan dari proses dan perjuangan yang cukup panjang”, jelas Poen Check
Nasri juga berharap Pemerintah Aceh bersama Perguruan Tinggi di Aceh juga mempersiapkan Prodi Teknik Perminyakan guna mencetak tenaga handal untuk mengisi peluang lowongan – lowongan pekerjaan nantinya di perusahan-perusahaan eksplorasi minyak dan gas bumi di Aceh.
”Tanpa ketersediaan tenaga handal sulit bagi Aceh untuk memperjuangkan tenaga kerja lokal dan merealisasikan program pemerintah menekankan angka pengangguran”, kata Nasri
Nasri Saputra berpendapat bahwa pengelolaan sumber daya alam (SDA) harus sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006.
Pernyataan ini menegaskan bahwa pengelolaan SDA harus berfokus pada prinsip kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat Aceh, bukan hanya kepentingan segelintir pihak. Pengelolaan ini harus mencakup prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUPA, seperti penggunaan yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan pelestarian lingkungan.
Fokus pada kemakmuran rakyat:
Pengelolaan SDA harus bertujuan untuk mencapai kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat Aceh, sesuai dengan prinsip dasar UUPA rakyat Aceh berhak menerima manfaat atas hasil alamnya
Pelestarian lingkungan:
Selain aspek ekonomi, UUPA juga menekankan prinsip pelestarian lingkungan dalam pengelolaan SDA, yang harus diwujudkan dalam praktiknya bukan sekedar retorika belaka.
Selain merujuk pada UUPA, pengelolaan Migas Aceh harus dan berdasarkan semangat Kesepakatan Helsinki, atau dengan kata lain nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005 di Firlandia.
”Karena Kesepakatan ini merupakan pernyataan komitmen yang mengikat kedua belah pihak untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan serta bermartabat bagi semua. Kesepakatan Helsinki memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi,” tutup Nasri,(*)














