Oleh: Kelompok III PKA Angkatan I Tahun 2023
Habakini | Banda Aceh – Korupsi telah sejak lama terjadi di Indonesia. Praktik-praktik seperti penyalahgunaan wewenang, penyuapan, pemberian uang pelicin, pungutan liar, pemberian imbalan atas dasar kolusi dan nepotisme serta penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi seperti sudah membudaya hampir pada seluruh pelosok negeri.
Ironisnya, walaupun usaha-usaha pemberantasannya sudah dilakukan lebih dari empat dekade, praktik-praktik korupsi tersebut tetap berlangsung, bahkan ada kecenderungan modus operandinya lebih canggih dan terorganisir, sehingga makin mempersulit penanggulangannya.
Penyebab lain terjadinya korupsi dikarenakan lemahnya pengawasan dari pimpinan instansi terkait serta komunikasi yang intensif dalam pencapaian tujuan tujuan utama organisasi.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Korupsi) harus ditegakkan. Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 sampai dengan 20 UU Pemberantasan Korupsi, ditambah bentuk tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 21 sampai dengan 24 UU Pemberantasan Korupsi.
Namun demikian juga tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya korupsi bukanlah melalui unsur kesengajaan. Terjadinya kesalahan (human error) dari Penyelenggara Negara dalam melaksanakan tugasnya yang diakibatkan atas terjadinya unsur kelalaian dalam pelaksanaan tugas belum menjadi alasan pemaaf dalam pengecualian tindak pidana korupsi.
Hal ini mengingat Negara Indonesia menganut asas legalitas dimana segala tindakan penyelenggara negara diharuskan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga unsur kelalaian dan ketidaksengajaan akan sulit dibuktikan.
Dalam upaya pemberantasan korupsi tentunya menghadapi tantangan yang tidak mudah. konflik kepentingan, konsolidasi oligarkhi penyelenggara pemerintahan, dan adanya oknum penegak hukum yang korup menjadi tantangan bagi Lembaga anti rasuah dan Lembaga penegak hukum lainnya dalam supremasi hukum pemberantasan korupsi.
Untuk dibutuhkan peran kepemimpinan yang berdedikasi tinggi dalam menata, mengelola dan mengawasi kinerja organisasi. Komitmen tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif untuk meminimalkan penyebab korupsi. Strategi tersebut mencakup aspek preventif, detektif dan represif, yang dilaksanakan secara intensif dan terus menerus.
Secara umum strategi preventif, detektif dan represif yang perlu dilakukan oleh Pimpinan Organisasi selaku Penyelenggara kebijakan adalah sebagai berikut:
Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan penyempurnaan manajemen sumber daya manusia baik tata kelola dan kapasitas, peningkatan kesejahteraan Pegawai, pembuatan perencanaan strategis dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah, peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen, peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, penguatan regulasi secara rinci terkait pelaksanaan program dan kegiatan yang menjadi pedoman utama dalam pelaksanaan birokrasi pemerintahan.
Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi. Strategi detektif dapat dilakukan dengan perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat, pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu, pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik;
Strategi Represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat dilakukan dengan Pembentukan Tim Saber Pungli di daerah, Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas, Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik, Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu, Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.
Posisi pemimpin dalam suatu birokrasi pemerintahan daerah mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya maupun masyarakat sekitarnya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahannya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
Selanjutnya komitmen antar Pimpinan Penyelenggara Negara merupakan faktor kunci keberhasilan pemberantasan korupsi. Utamanya adalah komitmen dalam menyelenggarakan roda pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip kepemimpinan Pancasila.
Oleh karena itu dalam upaya pemberantasan korupsi peran kepemimpinan dapat diwujudkan melalui penerapan Kepemimpinan Pancasila yaitu suatu kepemimpinan yang memiliki jiwa/semangat Pancasila dengan sikap yang konsisten dan konsekuen dalam pengamalan nilai-nilai/norma-norma Pancasila sehari-hari yang berdasarkan tata demokrasi.
Prinsip-prinsip dasar Kepemimpinan Pancasila yaitu kesadaran akan dirinya sebagai Insan Hamba Tuhan Yang Maha Esa, Insan Politik Pancasila, Insan Ekonomi Pancasila, Insan Sosial Budaya Pancasila dan Sebagai Insan Warga Negara Pancasila